Sekolah Anak


Lagi-lagi terinspirasi dari cuitan2 di Twitter, kali ini tentang pendidikan untuk anak. Intinya ada ekspat Indonesia di negeri singa yg share semacam CV anaknya yang baru masuk middle/high school (?). Isinya sangat wow sekali, banyak menang lomba sains, penghargaan, dsb. Dan tentu saja, selain banyak yg memuji, ada juga yang kontra. Yg nyinyir, eh kontra ini, intinya sih bilang ortunya ‘kejam’ bgt bikin anaknya jd gitu.

Well, mengutip kata2 Pandji manusia milenium, emang di Twitter tuh kebanyakan orang bikin kesimpulan yang utuh dengan informasi yang sepotong. Ada anak berprestasi, langsung nuduh ortunya yang maksa. Eh bukan nuduh sih, tp menganggap pola asuh ortunya tuh salah, anak tuh harusnya dibanyakin main lah, apa lah, dan fafifu wasweswos lainnya. Dan kadang org yg berpendapat gini tuh followernya mayan byk ‘beo’nya, jadilah bubble mereka sendiri.

Btw, gak mau bahas kontroversi yg itu sih, tp masih berkaitan. So, ortu anak yg diceritain di atas ini pernah cerita kalau mereka memilih tinggal di spore sala satunya karena ingin anak2nya dapat pendidikan yang terbaik. Dan menurut mereka, itu ada di sana. Nah yg ini jelas mancing pro-kontra juga. Mungkin mirip-mirip lah sama perdebatan sekolah negeri/swasta, sekolah biasa vs homeschool, atau bubur diaduk vs gak diaduk. Eh yg terakhir ini mah udah jelas lah enakan diaduk. 🙈

Aku sih gak ikutan komen di Twitter ya (kalo gak salah inget sih), karena emang semua itu subjektif banget. Maksudnya, semua keputusan orang tua utk pendidikan anaknya ya sah2 aja. Selama tanggung jawab ortu utk pendidikan anaknya terpenuhi, ya gak ada yg salah. Bentuknya bisa macem2 sesuai dengan kemampuan masing2 aja. Mampu di luar negeri? silakan. Mau yg terbaik di dalam negeri? monggoo. Cuma mampu yg biasa aja atau sekolah negeri? gak masalah.

Apapun bentuknya, buatku sekolah itu sebenernya hanya salah satu opsi dari kewajiban ortu untuk pendidikan anaknya. Artinya, ya gak melulu harus disekolahin ke sekolah formal. Berarti homeschooling? itu juga opsi. Yang wajib itu: mendidik anak. Bentuknya? bebas. Kuncinya, sesuai kebutuhan dan kemampuan.

Kebutuhan, biasanya dilihat dari kondisi anak. Ada yang tumbuh kembangnya normal, kemungkinan masih oke masuk sekolah biasa. Ada yang tumbuh kembangnya terlambat, sebaiknya masuk kelas inklusi atau yg khusus. Kalau kemampuan, berarti lihat kondisi orang tuanya. Kalau termasuk kelas menengah ke atas, akan punya lebih banyak pilihan dibanding yg kelas menengah ke bawah. Sayang di Indonesia masih berlaku ‘mekanisme pasar’ untuk pilihan sekolah berkualitas.

Namun balik lagi ke pendapatku sebelumnya, sekolah itu seharusnya hanyalah supporting system dalam mendidik anak. Artinya, pendidikan utama itu terjadi di rumah. Ayah dan ibu sebagai pendidik utama. Semua visi, misi, value yang ingin ditanamkan ke anak adalah tanggung jawab ortu. Maka, ortu juga harus secara sadar dan selektif dalam memilih sekolah untuk membantu mereka dalam mendidik anak. Misal kalau ingin anaknya jadi hafiz Qur’an, ya idealnya disekolahkan ke sekolah tahfiz.

In the end, kita gak bisa menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kita sepenuhnya ke pihak sekolah. Walaupun mungkin jam sekolah sekarang makin panjang, tapi tetep aja lebih lama lagi bersama keluarga. Gak boleh tuh kalau misal anak kita (jgn sampe) jadi bandel, terus nyalahin sekolahnya karena biarin anaknya gaul sama yg bandel2. Kalau dari rumah udah diajarin ortunya untuk memilih teman yang baik, ya harusnya sih gak khawatir lagi terjebak di lingkungan yg gak baik.

Susah ya jadi orang tua? Yep, memang gak mudah. Tapi biasanya, yang gak mudah itu kalau dilakukan dengan niat dan cara yang benar, insyaallah akan dapat balasan yang terbaik pula. Aaamiin..

comments powered by Disqus